PENDIDIKAN TANPA MENDIDK

       Ketika saya membaca sebuah berita di print.kompas.com saya tertarik untuk membaca sebuah opini yang di tulis oleh Yudi Latif dengan judul, "Pendidikan Tanpa Mendidik" tertanggal 4 Agustus 2016. Opini tersebut berisi kritikan terhadap dunia pendidikan dan pemerintahan. Sebab menurut si penulis dunia pendidikan kita saat ini sudah melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan sesungguhnya. Mentri Penidikan saja yang silih berganti namun esensi pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita hanyalah "pengajaran" (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Mata pelajaran sarat muatan kognitif. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang penalaran seperti itu, seperti tecermin dalam muatan ujian nasional.
      Oleh karena itu, kita melakuka perubahan dengan lebih memperioritaskan pendidikan dasar. Hal ini dapat di tempuh melalui kurikulum pendidikan dasar yang harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka budi pekerti. Pembelajaran membaca sebaiknya membudayakan siswa untuk membaca apapun yang ia sukai paling tidak satu hari dalam satu minggu.Selain membaca, siswa harus diberikan kecakapan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Negara, seperti Finlandia, dengan prestasi pendidikan yang hebat pun mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar. Pada tingkat ini, cukuplah diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagai dasar kecakapan hidup, yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Pelajaran matematika bolehlah mulai diperkenalkan pada kelas tujuh.
     Untuk dapat mengemban tugas pendidikan seperti itu, guru juga harus diberi derajat kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam proses pengajaran. Dalam kaitan ini, pengembangan kurikulum yang dikembangkan pemerintah tak perlu terlalu kaku dan mendetail. Harus dihindari kecenderungan ganti menteri ganti kurikulum. Sejalan dengan Pasal 38 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, yang dilakukan pemerintah cukuplah menggariskan "kerangka dasar dan struktur kurikulum". Selebihnya, berikan kebebasan kepada guru untuk berimprovisasi. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tidak bisa dicapai apabila gurunya sendiri terbelenggu.
Pada titik ini, prioritas selanjutnya adalah peningkatan mutu guru. Seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakikat kayu dan teknik ukir, apalagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.
      Sungguh ironis, perekrutan tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek- aspek formal ijazah dan tingkat pendidikan, dengan melupakan kompetensi didaktik-metodiknya. Sudah saatnya pesan UU Sisdiknas mengenai perlunya sekolah guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecakapan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.
      Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama.

Begitulah menurut Yudi Latif agar pendidikan di Indonesia ini maju dan agar tidak melenceng dari hakikat penddikan itu sendiri. Bagaimana dengan Anda???

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENDIDIKAN TANPA MENDIDK"

Post a Comment